Sabtu, 25 Januari 2014

Melawan Arogansi Ideologi Membangun Pluralitas Berideologi

Pendidikan merupakan hal yang lumrah dan wajib dilakukan oleh manusia. Akan tetapi, melihat kondisi sosial yang ada di dunia kampus, banyak hal-hal yang membuat saya risih melihat keadaan pendidikan yang ada. Sejatinya, tujuan pendidikan adalah bagaimana memanusiakan manusia. Akan tetapi, tujuan pendidikan tersebut ternyata hanyalah sebuah imaji belaka.

Hal tersebut menyebabkan banyaknya teriakan-teriakan mahasiswa, atas nama kebenaran menyalahkan sistem pendidikan kampus, melakukan demonstrasi, meronrong birokrasi.

Secara gamblang, ironisnya praktik pendidikan tidak serta-merta terjadi oleh karena 
pihak birokrasi. Akan tetapi, ternyata mahasiswa juga turut mengambil peran dalam hal tersebut. Bagaimana tidak? Mahasiswa terkadang melakukan intervensi terhadap mahasiswa yang lain untuk ikut serta dalam golongan tertentu. Bahkan ancaman pun silih berganti menghampiri, jika ajakan tersebut tidak diindahkan.

Melakukan pemakasaan ideologi, yang tidak semua orang bisa menerimanya. Bukankah setiap manusia memiliki naluri dalam mendeteksi hal-hal yang terbaik untuk dirinya?  seperti kata Faylasuf “setiap orang punya potensi untuk menemukan suatu kebenaran.”
             
Setelah mengetahui hal tersebut, timbul pertanyaan dalam benak saya, faktor apa yang mendorong terjadinya intervensi ideologi dikalangan mahasiswa yg tak jarang  menimbulkan konflik Laten mau pun terbuka? S
etelah saya telusuri, ternyata hal tersebut tak lain dan tak bukan dipengaruhi oleh adanya Arogansi Ideologi antar kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Kenapa harus menjunjung tinggi kepentingan sepihak? Bukankan kepentingan bersama itu jauh lebih indah? Manusia hanya memiliki segelintir perbedaan dan memiliki begitu banyak kesamaan. Tidak perlu saling mencerca, tidak perlu saling menjatuhkan, dan tidak perlu saling menghina dengan atas nama sebuah kebenaran. Setiap manusia memiliki jalan yang berbeda untuk mencapai puncak kemaslahatan dan kebenaran.
Setiap golongan memiliki apa yang kemudian dikenal dengan istilah “Truth Claim” atau klaim kebenaran. Golongan ini menyatakan bahwa inilah kebenaran, golongan yang satu menyatakan bahwa itulah kebenaran. Jika hal tersebut dijadikan sebagai rujukan intervensi, jelas merupakan suatu kesalahan. Rasulullah SAW sewaktu memimpin Madinah menerapakan suatu sistem egaliter (persamaan derajat), posisi muslim dengan non muslim pada saat itu, setara. Rasulullah tidak pernah memaksakan non muslim untuk masuk ke dalam bingkai muslim, karena beliau sadar, bahwa inti sebuah kemaslahatan adalah kebersamaan dan keberagaman. Bayangkan, kepada non muslim saja beliau menjunjung tinggi toleransi. Kenapa hari ini, kita yang mengaku sebagai umat beliau, sulit menerapkan prinsip tersebut. Bahkan ketidaktoleran sering kita lakukan terhadap saudara muslim kita sendiri.
Kemuliaan tidak diukur dari sesuatu yang kasat mata (subyektif). Tapi, diukur dari sesuatu yang abstrak (obyektif). Dalam pepatah arab dikatakan bahwa “unzur maa qiila wa laa tanzur man qaala” (lihatlah apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan).

Mari kita bergandengan tangan bersama, menerapkan dan menjunjung tinggi kebersamaan, keberagaman, dan persatuan dalam menggapai puncak kemaslahatan, yang merupakan menifestasi dari tujuan bangsa dan negara kita. Bersatu membangun bangsa dan bersatu membela agama. Itulah wujud pluralitas dalam berideologi.

Kamis, 23 Januari 2014

Intelektual Profetik Solusi Permasalahan Bangsa

INTELEKTUAL profetik adalah intelektual yang memiliki misi kenabian. Ilmu yang diperolehnya ditransformasikan dalam realitas sosial dengat spirit ilahiah. Dalam konteks ini, terjadi kolaborasi dunia “langit” dan dunia “bumi.” Langit adalah simbol spiritual, sedangkan bumi simbol keduniaan, kefanaan.

Siapakah intelektual profetik? Golongan ini jika bisa diumpamakan adalah sekelompok orang yang malam harinya seperti seorang ‘abid (ahli ibadah), dan siangnya digunakan untuk mencerahkan kehidupan umat manusia. Dalam melaksanakan misi sucinya, golongan ini tetap berpegang pada kaidah ilahiah, kaidah universal.

Bagaimana membentuk intelektual profetik? Golongan ini hanya bisa mewujud dalam realitas jika disertai dengan kesadaran bahwa kita adalah makhluk Tuhan. Dia atas segalanya ada Dia Yang Maha perkasa, yang ilmu-Nya meliputi langit dan bumi, yang kekuasaan-Nya tak terhingga. Konsekuensi dari kesadaran ini adalah apapun yang kita lakukan – termasuk dunia intelektual – tetaplah diawasi dan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Yang Maha Kuasa.

Secara sistematis, ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk membentuk generasi cerdas ini. Pertama, membentuk kesadaran. Kesadaran bisa dibentuk manakala ada ‘an taradhin (saling ridho) antara sang pendidik dan yang dididik. Mana mungkin bisa terjadi keakraban, kesadaran hingga pembelajaran ketika jiwa terancam atau ketika jiwa tidak menentu, tak menerima.

Setelah ada keridhoan dalam mencari ilmu, maka sang calon intelektual perlu menyadari dari ufuk kalbunya yang terdalam. Bahwa manusia hanyalah salah satu makhluk Tuhan yang diciptakan di alam ini, dan memiliki fungsi khalifah (pemimpin, pengganti). Sebagai pemimpin, manusia perlu menerapkan nilai-nilai ilahiah dalam keseharian umat manusia. Termasuk juga dalam membentuk teori ilmu pengetahuan.

Sebelum membentuk teori, sang intelektual perlu juga mempelajari ajaran agama secara baik dan benar. Jika paradigmanya telah baik, maka secara perlahan akan merembes pada wilayah akhlak dan cara pikir. Cara pikir yang baik adalah yang mencerahkan, bukan yang digunakan untuk memuaskan dahaga pribadi atau kelompok semata.

Kedua, adanya tauladan dari sang guru. “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari,” demikian kata pepatah yang relevan untuk itu. Seorang guru, ketua atau senior yang baik adalah yang memberi contoh pada bawahannya. Ia adalah orang pertama yang mengaplikasikan apa yang ia katakan. Dalam Al-Qur’an, sangatlah dibenci Allah orang yang berkata tapi tidak melaksanakan. Konsistensi diperlukan di sini.

Taudalan yang baik telah dicontohkan banyak guru ternama. Nabi Khidir AS adalah salah seorang itu. Berkat kedalaman ilmunya, ia berhasil mengajarkan Nabi Musa AS arti dari ilmu. Begitu juga Rasulullah SAW yang menjadi uswah hasanah bagi sahabatnya.

Jika mau menjadi seorang dokter, maka bergaullah dengan dokter. Dokter yang baik adalah yang memiliki akhlak yang mulia. Dia yang mengobati pasiennya dengan ikhlas, bukan hanya persoalan kerja semata. Begitu juga dengan dosen yang mengajarkan ilmunya pada mahasiswa. Bukan hanya persoalan kewajiban sebagai pegawai negeri saja, akan tetapi lebih dalam dari itu adalah kelangsungan peradaban.

Rata-rata peradaban yang eksis adalah peradaban yang di dalamnya ada transformasi ide dari generasi ke generasi. Menjelmanya pohon ilmu pengetahuan dari akar menjadi batang, ranting, hingga dedaunan. Tiap kita yang mencari ilmu, pasti berada di pohon ilmu itu. Orang yang membuat teori diumpamakan sebagai akar, yang meneruskan kepada pohon dan seterusnya.

Keteladanan adalah salah satu kunci sukses intelektual profetik. Semakin terpuji akhlak para guru, senior, direktur, ketua, maka akan semakin tertantanglah sang individu menuju kesuksesan. Ada back-up psikologis dari orang yang lebih tua. Tentunya hal itu sangat diharapkan kebanyakan pelajar dalam wilayah apapun.

Ketiga, perlu adanya kelompok kecil yang intensif (intensif small group). Usahakan jangan sampai pengkaderan hanya berhenti pada wilayah formalitas. Paling lama pengkaderan kita seminggu. Biasanya ada juga orang yang langsung berubah paradigmanya menjadi baik. Akan tetapi, selanjutnya? Tidak ada jaminan ide yang baru saja diterimanya akan terus terpahat dalam dasar hati. Bisa saja hilang atau diletakkan dalam sudut ruangan lagi gelap.

Kelompok kecil ini bisa kita contoh dari gerakan Rasulullah ketika mengadakan pengajian di rumah Al-Arqam Bin Abil Arqam. Ketika itu, beberapa anak muda progressif revolusioner dididik secara kontinyu oleh baginda rasul. Akhirnya, alumninya menjadi tokoh dan daya saingnya luar biasa!

Begitu juga dari Mesir. Al-Ikhwan Al-Muslimun – didirikan Imam Hasan Albanna – berhasil mencetak para aktivis sekaligus intelektual, tanpa over generalisasi. Mereka bukan hanya cerdas secara ruhaniah (transcendental intelligence), akan tetapi juga secara spiritual, jauh sebelum Ian Marshal dan Danah Zohar mengeluarkan bukunya Spiritual Quotient (SQ).

Ketiga aspek di atas meliputi kesadaran personal, perlunya pembimbing dan lingkungan. Menurut penulis jika tiga hal diatas dilaksanakan dengan baik, maka akan membentuk intelektual kita, intelektual profetik. Sadar akan dirinya dan berjuang menyadarkan orang lain.

Tak ada salahnya kita semua – dalam bidang apa saja – mencoba. “Jika kita berusaha menjadi lebih baik dari diri kita sekarang, semua yang ada di sekeliling kita pun menjadi lebih baik,” demikian kata Paulo Coelho dalam buku klasiknya Sang Alkemis yang bestseller internasional itu. Maka jika sekeliling kita telah berubah baik, tidak menutup kemungkinan bangsa kita akan berubah menjadi baik.

Ary Nugraha

Ketua Umum HMI Cabang Pekanbaru

Terbit di kitanews.co


Minggu, 19 Januari 2014

Sekilas memaknai politik & cinta


Kalau bicara politik tidak terlepas dari hal-hal yang berbau demokrasi, korupsi, birokrasi, basa-basi dan banyak si-si lain. Suatu pemerintahan, organisasi bahkan cintapun mengandung unsur-unsur politis, sehingga politik adalah "nyawa" dari semua itu, tanpa politik seperti membuat minuman kopi dengan air dingin hehehe.

Cinta mengandung unsur politis, benarkah? iya menurutku :). Strategi ketika mencoba mendekati dan mengambil hati seseorang tuk menjadi kekasih adalah langkah-langkah politis walaupun kadang cinta itu mengalir sendiri meski tanpa harus diatur sedemikian rupa :). 

Itulah yang membedakan cinta dan politik, dimana cinta adalah ketulusan sedangkan politik tidak sama sekali. Kalau ada yang bilang politik itu kejam iya, sama juga seperti cinta yang bisa berubah kejam dan menyakitkan ketika asa tidak terwujud :). 

Berpolitik memang harus dengan cinta yang tulus, bukan sekedar basa-basi atau karena uang. Namun berpolitik juga jangan karena cinta, karena akan menyebabkan tujuan jadi berubah hehehe. Atau yang lebih parah bercinta dengan politik, sehingga menghalalkan segara cara untuk memuaskan kepentingan pihak-pihak yang diajak bercinta.

So berpolitik yang benar seperti apa? nah ini pertanyaan yang retoris dan idealis sekali namun jika kita berkaca pada politik yang dianut junjungan kita nabi besar Muhammad SAW, dimana kepentingan rakyat adalah yang utama nicaya tidak akan ada kasus-kasus seperti yang terjadi saat ini. Beliau tidak mengatasnamakan rakyat sebagai tujuan tapi mengutamakan dan membuktikan dengan bentuk perbuatan mulia nan nyata.

Apakah bisa manusia berprilaku seperti beliau ? seharusnya bisa karena apa yang dicontohkan oleh beliau adalah hal yang manusiawi dan dilandasi perikemanusiaan yang adil dan beradab. Beliau adalah contoh pemimpin yang berpolitik berdasarkan cinta yang tulus. Selain itu kekuasaan yang dimiliki seorang pemimpin seharusnya menjadi kekuatan untuk mengarahkan, mengawasi, menegur,membimbing dan bertindak tegas serta memberi contoh tauladan pada bawahannya untuk bisa bekerja dengan baik (jujur dan terpercaya).

Akhir kata coba jikalau para politisi negeri ini berpolitik didasari oleh cinta, maka tak kan ada yang hidup kelaparan, kemiskinan, tauran, anarkisme, korupsi sebab cinta tak kan membiarkan semua itu terjadi. Tentunya cinta yang benar-benar tulus “apa adanya” bukan karena “ada apanya”.
(smoga menginspirasi para politisi dinegeri ini yang 2014 akan mengikuti pemilu)
@bungarynugraha
2673BC95 

Senin, 13 Januari 2014

"Sajak Suara" karya : wijhi thukul

 

 Sajak Suara
Sesungguhnya suara itu tidak bisa diredam
Mulut bisa dibungkam
Namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku
Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
disana bersemayam kemerdekaan
Apabila engkau memaksa diam
Aku siapkan untukmu : pemberontakan!
Sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang merayakan hartamu
Ia ingin bicara
Mengapa kau kokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu menuntut keadilan?
Sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
Ia yang mengajari aku untuk bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
Apabila engkau tetap bertahan
Aku akan memburumu seperti kutukan
karya : wiji thukul

Selasa, 07 Januari 2014

Pertamina Naikkan LPG 12 KG, SBY Cari Muka di 2014

Tahun baru, muncul harapan baru”, begitu kiranya pikiran orang kebanyakan, apalagi dalam tahun ini (dalam rencana) akan ada pesta besar-besaran, pemilu presiden dan pemilu legislatif, dimana setiap orang peserta yang akan dipilih akan bersiap mengeluarkan kocek 300 M, 500 M, atau bahkan sampai 2 T, begitu kira-kira kabar yang saya dapatkan. Ya setidaknya momentum ini bisa memicu mekarnya harapan-harapan baru itu.
            Terlepas dari hal di atas, awal tahun ini sudah ada program besar yang telah muncul, tepat pada tanggal 1 januari 2014, diresmikannya BPJS dan naiknya harga LPG 12 kg. kita tentu tidak bosan-bosanya disuguhi sesuatu yang baru dalam pergantian tahun, terutama akhir-akhir ini, dimana nilai tukar rupiah nyaris saja berada pada angka Rp. 13.000,00/dollar. Untung atau hanya permainan, IHSG mengalami trend positif yang merangkak awal tahun ini.
            Kita mungkin akan kembali merefleksi persepsi kita pada apa yang terjadi mendekati moment yang sama pemilihan presiden tempo hari, setelah media berkoar-koar tentang kenaikan harga BBM, kebutuhan masyarakat akan semakin sulit didapat, hal itu kemudian berubah setelah BBM itu turun. Satu hal yang menarik adalah, masyarakat ini semakin hari semakin tergantung dengan Bahan Bakar (mungkin hanya bagi rakyat menengah ke bawah). Hal ini sekaligus menjadi peluang emas buat bajingan-bajingan Negara untuk mempermainkan perederan kapital. Ini sudah menjadi lubang besar buat Negara-negara lain ikut serta meremukkan Indonesia.
            Tentang harga LPG yang baru saja naik, sebagian kita akan menganggap bahwa hal ini seperti sudah biasa, pandangan kita terhadap kelakuan pemerintah atau korporasi yang bertanggung jawab menjelang pemilu selalu saja menarik perhatian masyarakat, seperti semacam sensasi buatan dan lebih ke arah lelucon. Seperti yang sebelum-sebelumnya, pemerintah atau mungkin hanya SBY saja yang memainkan peran sebagai ratu adil di saat-saat kepepet.
Dibuatlah BUMN Pertamina untuk berpikir kembali selama 1×24 jam untuk meninjau lagi besarnya kenaikan harga LPG 12 Kg tersebut, padahal sebelumnya, dikatakan bahwa kenaikan ini merupakan murni dari kebijakan korporasi (Pertamina). Ruang kosong yang dibuat diantara pertamina dan pemerintah adalah, apakah sebelum dinaikkan harga LPG ini tidak ada komunikasi serius yang dilakukan?
Anggap saja kita percaya bahwa pertamina sudah pernah melayangkan surat kepada pemerintah untuk meminta kenaikan harga LPG ini awal tahun 2013 atau mereka sudah menyajikan data dari BPK bahwa mereka (pertamina) telah rugi, sehingga kerugian yang mencapai 7,3 T antara tahun 2012-2013 bisa diminimalisir? Tentu ketika hal ini dianggap serius oleh pemerintah maka waktu untuk memikirkan strategi yang tepat tentang kenaikan harga LPG ini bisa sampai 6 bulan x 24 jam—atau lebih. Kalau digunakan asumsi ini, maka pemerintahlah yang sengaja memilih dan memilah waktu yang tepat mendekati pemilu untuk menaikan harga LPG 12 Kg.
            Mental masyarakat Indonesia diombang-ambingkan dengan masalah ekonomi, tepatnya masalah duit. Bajingan Negara ini sangat tahu kelemahan negara sendiri. Bahkan dari koar-koarnya media di televisi, ternyata kerugian pertamina bukan saja begitu hadir pada tahun 2012-2013 untuk masalah LPG 12 Kg, pertamina sudah mengalami kerugian sekitar 22 T sampai dengan sekarang—ngakunya seperti itu. dan kemarin lusa pemerintah lewat Hatta Rajasa seperti menganaktirikan hal tentang LPG 12 Kg ini, karena “bukan merupakan subsidi pemerintah”, katanya. Saya pikir mungkin beliau bukan menteri.
            Karena dengan kerugian yang telah sampai pada angka 22 T tersebut, Pertamina baru sadar atau mungkin disadarkan bahwa angka itu cukup bisa dijadikan alasan untuk selanjutnya menaikkan harga LPG 12 Kg. Pandangan sederhana saya adalah, kenapa pertamina tidak menaikkan harga LPG tersebut pada saat mereka tahu (mungkin lewat BPK) bahwa mereka sudah rugi sekitar 7 T? Kenapa pada tahun 2011-2012 misalnya tidak menaikan harga LPG 12 Kg? Ah saya mulai merasa pertamina adalah kacung-kacung pejabat dan bahkan kacungnya Negara lain. Bahkan ditempat saya (pekanbaru-riau) harga LPG 12 Kg melambung naik dikisaran 160 ribu rupiah. Potret buram daerah kaya energy tapi rakyatnya tak dapat merasakaan kekayaan energy dengan harga murah.
Ini adalah wajah pemerintahan sekarang, bukan mengeneralisir, tapi karena pemimpinya belum punya empati dan belum punya hormat terhadap masyarakat dan Negara sendiri, kebanyakan bawahan akan ngikut saja. Dan bagaimana masyarakatnya? Akan terasa percuma BOS, PNPM, Beasiswa sekolah, atau program-program yang mendidik lainnya. Masyarakat ini dituntut untuk tetap bodoh dan jadi economic animal.
            Entah hal ini bisa dibilang dengan suatu analisis atau bukan, bahwa bisa jadi kenaikan harga LPG ini merupakan agenda yang sudah dipersiapkan sejak jauh-jauh hari, kenaikkan harga LPG 12 Kg bisa menjadi sumber biaya politik, untuk melawan calon yang lain, biaya pencitraan, atau bahkan untuk membiayai kelanggengan kekuasaan, mengkondisikan pemilu presiden ditunda—bisa sampai tahun depan. Lihat saja bagaimana pemilu yang sediannya akan dilaksanakan pada tanggal 4 april 2014 dikalahkan oleh isu dan berita yang lain. Media massa dan acara dalam televisi lebih nyaman dan berduit dengan berita Jokowi, Gita, Win-HT, Hatta, LPG, BPJS, YKS, konvensi partai, lentera Indonesia (yang ini positif) dari pada perkembangan pemilu itu sendiri.
            Apa yang harus kita lakukan sekarang ditengah lingkaran permainan isu dan harga adalah mengawal pemilu 4 april 2014 harus tetap terlaksana, secepatnya menggantikan pemimpin yang sudah terlanjur mabuk, karena kendaraan yang disetir pemimpin saat ini sudah menyeret penumpang pada jurang. Ini adalah tanggungjawab. Akhir kata bahwa 2014 ini bukanlah tahun politik pesta para penyubur kemapanan para politisi yang melanggengkan kuasa sehingga rakyat yang menjadi korban. Mari kita tersadarkan jangan sampai pemimpin terpilih karena Iklan, Kebijakan pencitraan apalagi karena kepura-puraan. Sebab Tahun 2014 ini adalah milik kita semua.
LAWAN
Salam pergerakkan
Penulis : @bungarynugraha

Ketua Umum HmI Cabang Pekanbaru