Jumat, 04 April 2014

Stigma Politik Dalam Masyarakat Islam di Indonesia

Berbicara tentang politik merupakan topik diskursus yang menarik mulai dari pengamat politik di perguruan tinggi baik akademisi maupun praktisi, bahkan sampai kalangan kedai kopi pun sering membicarakan politik. Banyak orang yang mengatakan bahwa setiap langkah dalam suatu aktivitas politik adalah suatu hal di mana politik merupakan suatu perbuatan yang kotor dan selalu bermuatan negatif. Entah sejak kapan anggapan politik itu kotor terlintas dalam pikiran masyarakat. 

Menurut penulis adapun yang menyebabkan pola pikir masyarakat Indonesia khususnya masyarakat awam menganggap dan memaknai politik sebagai suatu perbuatan yang penuh dengan perbuatan kotor serta intrik licik dapat kita lihat pada masa awal penjajahan. Pada masa imperialisme dan kolonialisme menetapkan wilayah nusantara sebagai wilayah jajahannya. Belanda awalnya hanya bermaksud ingin melakukan perdagangan (ekonomi) di wilayah nusantara (Indonesia). Di mana untuk melakukan penguasaan ekonomi perdagangan dengan memonopoli perdangan rempah-rempah, sebagaimana nusantara pada saat itu dikuasai oleh kerajaan-kerajaan. Agar dapat menguasai  serta memonopoli perdagangan rempah-rempah belanda terlebih dahulu mestilah menguasai atau menundukkan kekuasaan para raja-raja di bawah kendali pengaruhnya. Tentunya bukan suatu hal yang mudah untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan. Untuk itu lah demi meneruskan nafsu kuasanya, pemerintahan kolonial menerapkan politik devide et impera atau yang kita kenal politik adu domba.

Politik adu domba atau politik pecah belah sebenarnya adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat.

Pada saat itulah mulai tertanam pada pikiran masyarakat Indonesia secara turun-temurun bahwa politik itu kotor. Oleh karena kotor, politik tidak boleh bercampur dengan sesuatu yang suci. Sebab sesuatu yang kotor apabila bercampur dengan yang suci, maka tentunya akan merusak kesucian.

Hubungan Politik dan Agama
Agama ialah suatu keyakinan yang dianut oleh seseorang atau suatu masyarakat bangsa. Di mana agama mengajarkan sesuatu hal yang baik dan menjauhi sesuatu hal yang tidak baik atau keji.  Agama mengajarkan bagaimana beribadah kepada sang pencipta agar kemudian terpancarkan perbuatan baik dalam kehidupan sehari-hari sebagai upaya untuk mencari rida-Nya. Agama juga mengajarkan persaudaraan serta kesetia kawanan dalam hubungan sosial yang tentunya sekali lagi bertujuan mencari rida-Nya. 
Jika agama mengajarkan suatu hal yang baik  kemudian politik diinterpertasikan suatu kegiatan yang menghalalkan segala cara tentu saja agama tidak boleh dicampurkan pada aktivitas politik. Sebab politik dianggap suatu kegiatan yang keji. Dalam istilahnya machiaveli mengatakan dalam politik itu tidak ada teman yang abadi, dan yang abadi ialah kepentingan. Maka konsekuensinya ialah sah-sah saja jika hari ini teman dan besok menjadi lawan apabila kepentingan sudah berbeda.

Inilah ajaran thagut, yang diwariskan bangsa kolonial sehingga menjadikan masyarakat Indonesia sampai hari ini menjadi fobia apabila berbicara agama dan politik. Ditambah pula hingga  hari ini warisan tersebut masih lestari subur. Dan itu tercermin pada perilaku-perilaku elite politik kita. Coba saja kita lihat perilaku kebanyakan para penyelenggara Negara. Perilaku adu domba, korupsi, fitnah, pembunuhan karakter, menindas rakyat, kebijakan yang berpihak pada kepentingan kapitalis telah menyelimuti alam pikiran serta dinamika politik kebangsaan selama 69  tahun kemerdekan Indonesia.

Lantas dengan demikian masih layakkah bangsa ini dikatakan merdeka? Seperti yang tercermin di dalam pembukaan UUD 1945. Padahal sudah tercantum jelas kemerdekaan Indonesia dilandasi “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan yang luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas (Pembukaan UUD 1945 alinea 3)”.  Artinya tafsiran penulis bahwa kemerdekaan bangsa yang direbut melalui perjuangan fisik dan proses politik di dalam negeri maupun internasional tidak bisa terlepas oleh ajaran agama. Yakni atas berkat rahmat Allah. Sebab hanya orang beragama lah yang diajarkan tentang keyakinan bahwa segala sesuatu tidak terlepas oleh kuasa Tuhan.

Ialah Agama Islam yang mana pokok-pokok ajarannya yang tertuang di dalam Alquran dan Hadis. Bahwa Islam bukan hanya sekadar agama yang mengatur hubungan antarindividu manusia dengan Tuhan. Tetapi Islam sebagai sesuatu keyakinan juga mengajarkan tentang hubungan antara individu manusia dengan manusia lainnya. Termasuk mengenai hubungan mengenai bermasyarakat berbangsa dan bernegara yang semua itu bertujuan untuk mencari rida Ilahi.

Memperbaiki Stigma Negatif
Kembali pada titik persoalan, munculnya stigma yang mengakar dalam masyarakat bahwa politik itu kotor, penuh dengan intrik dan aksi tipu-tipu akhirnya menimbulkan apatisme di kalangan masyarakat Islam di Indonesia. Sehingga bertentangan dengan prinsip agama terutama ajaran Islam. Padahal tidak demikian sebenarnya, yang terjadi ialah justru selama kita memisahkan politik dan agama maka selama itu pula kehidupan berpolitik di Negara ini menjadi karut marut. kacau dan galau .

Politik jangan lah dipahami tentang segala sesuatu dalam rangka memperebutkan kekuasaan, kemegahan, kekayaan. Jika demikian maka praktik menghalalkan segala cara akan digunakan. Pantas jika masyarakat berstigma negatif tentang politik. Padahal sesungguhnya politik itu ialah pemikiran yang berkaitan dengan pemeliharaan urusan umat atau rakyat. Politik sebuah cara atau seni dalam memahami realita yang mungkin terjadi pada masyarakat. Politik menjadi bersih atau sebaliknya tergantung dengan apa yang menjadi landasan dalam berpolitik. Dalam hal ini dapat kita analogikan pada sebuah permainan catur. Di mana sebelum memulai permainan, ada aturan yang mesti dipahami sang pemain. Ada ketentuan-ketentuan yang tidak boleh dilanggar, masing-masing bidak memiliki aturan dalam setiap melangkah dan itu tidak boleh dilanggar.

Begitu juga permainan politik ada aturan yang mengatur. Seharusnya para pemain politik dalam hal ini politisi mestilah bermain sesuai dengan rule of the game yang telah ditentukan. Para politisi mesti memiliki fatsun politik yang menjadi sebuah pegangan. Jika etika politik menjadi pegangan sakral bagi setiap para politisi maka tentu akan menghasilkan iklim politik yang sehat.

Dengan adanya iklim politik yang sehat maka stigma negatif terhadap “politik” yang telah mengakar pada masyarakat agamis tentu akan berubah. Politik akan menjadi suatu keniscayaan untuk merubah nasib. Maka dengan begitu akan memunculkan partisipasi politik yang kuat di dalam masyarakat. Sehingga masyarakat pemilih terutama sekali adalah masyarakat Islam sebagai pemilih mayoritas di Indonesia dapat bergairah berpartisipasi dalam mensukseskan Pemilu.

Saya pikir momentum Pemilu 2014 ini adalah momen yang tepat untuk memperbaiki stigma negatif tentang politik. Tentunya dibutuhkan dorongan berbagai elemen. Dalam hal ini Negara, KPU, Bawaslu, aparat keaman, serta yang utama ialah Parpol dan media pers dalam memperbaiki stigma politik. Maka dengan cari itu masyakat golput dapat diminimalisir. Demokrasi politik pun semakin kuat, mengingat demokrasi merupakan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Maka partisipasi banyak rakyat terutama masyarakat islam sebagai mayoritas menjadi suatu keniscayaan yang harus kita capai.****

Penulis Ary Nugraha S.IP adalah Ketua Umum HMI Cabang Pekanbaru, alumni Fisip Universitas Riau.

#Terbit di Koran Haluan Riau 2 April 2014