Kamis, 28 Agustus 2014

Sang Hijau Hitam dan Persaudaraan

Sang Hijau Hitam harus tetap berkibar
berjalan melintasi waktu
sang Hijau Hitam harus tetap bersinar
satukan langkah kita dan jangan bercerai berai
sang Hijau Hitam jangan pernah berharap jadi besar saat kepentingan bicara
singkirkan ego mu singkirkan kepentinganmu demi jayanya Hijau Hitam….
Yakusa…!!

Persaudaraan kadang seperti tingkah dahan-dahan yang ditiup angin. Walau satu pohon, tak selamanya gerak dahan seiring sejalan. Adakalanya seirama, tapi tak jarang berbenturan. Tergantung mana yang lebih kuat: keserasian batang dahan atau tiupan angin yang tak beraturan.

Indahnya persaudaraan. Sebuah anugerah Allah yang teramat mahal buat mereka yang terikat dalam keimanan. Segala kebaikan pun terlahir bersama persaudaraan. Ada tolong-menolong, terbentuknya jaringan usaha, bahkan kekuatan politik umat.

Namun, pernik-pernik lapangan kehidupan nyata kadang tak seindah idealita. Ada saja khilaf, salah paham, friksi, yang membuat jalan persaudaraan tidak semulus jalan tol. 
Ketidakharmonisan pun terjadi. Kebencian terhadap sesama saudara pun tak terhindarkan.
Muncullah kekakuan-kekakuan hubungan. Interaksi persaudaraan menjadi hambar. Sapaan cuma basa-basi. Tidak ada lagi kerinduan. Sebaliknya, ada kekecewaan dan kebencian. Suatu hal yang sulit ditemukan dalam tataran idealita persaudaraan Islam.

Lebih repot lagi ketika disharmoni itu menular ke orang lain. Keretakan persaudaraan bukan lagi hubungan antar dua pihak, bahkan merembet. Penyebarannya bisa horisontal atau ke samping, bisa juga vertikal atau atas bawah. Para orang tua yang berseteru, anak cucu pun bisa ikut kebagian.

Rasulullah saw. pernah mengingatkan itu dalam sabdanya, “Cinta bisa berkelanjutan (diwariskan) dan benci pun demikian.” (HR. Al-Bukhari)

Waktu memang bisa menjadi alat efektif peluntur kekakuan itu. Saat gesekan menghangat, perjalanan waktulah yang berfungsi sebagai pendingin. Orang menjadi lupa dengan masalah yang pernah terjadi. Ada kesadaran baru. Dan kerinduan pun menindaklanjuti.

Kalau berhenti sampai di situ, bisa jadi, perdamaian cuma datang dari satu pihak. Karena belum tentu, waktu bisa menjadi solusi buat pihak lain. Kalau pun bisa, sulit memastikan bertemunya dua kesadaran dalam rentang waktu yang tidak begitu jauh.

Perlu ada cara lain agar kesadaran dan perdamaian bertemu dalam waktu yang sama. Dan silaturahim adalah salah satunya. Inilah cara yang paling ampuh agar kekakuan, ketidaksepahaman, kekecewaan menjadi cair. Suasana yang panas pun bisa berangsur dingin.

Dengan nasihat yang begitu sederhana, Rasulullah saw. mengajarkan para sahabat tentang keunggulan silaturahim. Beliau saw. bersabda, “Siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah menyambung tali silaturahim.” (Muttafaq ‘alaih)

Menarik memang tawaran Rasul tentang manfaat silaturahim: luasnya rezeki dan umur yang panjang. Dua hal tersebut merupakan simbol kenikmatan hidup yang begitu besar. Bumi menjadi begitu luas, damai, dan nyaman. Sehingga, kehidupan pun menjadi sangat berarti.

Masalahnya, tidak mudah menggerakkan hati untuk berkunjung ke orang yang pernah dibenci. Mungkin masih terngiang seperti apa sakitnya hati. Begitu berat beban batin. Berat. Terlebih ketika setan terus mengipas-ngipas bara luka lama. Saat itulah, setan memposisikan diri seseorang sebagai pihak yang patut dikunjungi. Bukan yang mengunjungi. Kalau saja bukan karena rahmat Allah, seorang mukmin bisa lupa kalau ‘izzah bukan untuk sesama mukmin. Tapi, buat orang kafir.

Firman Allah swt. “Hai orang-orang yang beriman, siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintaiNya, yang bersikap adzillah (lemah lembut) terhadap orang mukmin, yang bersikap ‘izzah (keras) terhadap orang-orang kafir….” (QS. 5: 54)

Setidaknya, ada tiga persiapan yang mesti diambil agar silaturahim tidak terasa berat. Pertama, murnikan keinginan bersilaturahim hanya karena Allah. Ikatan hati yang terjalin antara dua mukmin adalah karena anugerah Allah. Ikatan inilah yang menembus beberapa hati yang berbeda warna menjadi satu cita dan rasa. Sebuah ikatan yang sangat mahal.

Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka….” (QS. Al-Anfal: 63)

Jangan pernah selipkan maksud-maksud lain dalam silaturahim. Karena di situlah celah setan memunculkan kekecewaan. Ketika maksud itu tak tercapai, silaturahim cuma sekadar basa-basi. Silaturahim tinggallah silaturahim, tapi hawa permusuhan tetap ada.

Kedua, cintai saudara seiman sebagaimana mencintai diri sendiri. Inilah salah satu cara mengikis ego diri yang efektif. Ketika tekad ini terwujud, yang terpikir adalah bagaimana agar bisa memberi. Bukan meminta. Apalagi menuntut.

Akan muncul dalam nurani yang paling dalam bagaimana bisa memberi sesuatu kepada saudara seiman. Termasuk, memberi maaf. Meminta maaf memang sulit. Dan, akan lebih sulit lagi memberi maaf.

Hal inilah yang paling sulit dalam tingkat keimanan seseorang. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak beriman seseorang di antara kamu, sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri.”

Ketiga, bayangkan kebaikan-kebaikan saudara yang akan dikunjungi, bukan sebaliknya. Kerap kebencian bisa menihilkan kebaikan orang lain. Timbangan diri menjadi tidak adil. Kebaikan yang bertahun-tahun bisa terhapus dengan kesalahan semenit.

Maha Benar Allah dalam firmanNya, “…Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa….” (QS. 5: 8 )

Tak ada yang pernah dirugikan dari silaturahim. Kecuali, tiupan angin ego yang selalu ingin dimanjakan. Karena, ulahnya tak lagi membuat tangkai-tangkai dahan berbenturan.
wallahu a’lam..

Senin, 11 Agustus 2014

Surat Terbuka Untuk Gubernur Riau Atuk Anas Ma’mun



Terus Terang Saya Kaget saat membaca berita media online RiauTerkini.Com tertanggal 7/8/2014 yang berjudul HAM juga Diduga Cabuli Putri Seorang Tokoh Riau  Seakan Tak percaya Sosok Berinisial HAM itu ialah pemimpin yang baru saja diamanahkan oleh Rakyat Riau untuk melakukan perbaikan dan perubahan pada Masyarakat Riau.

Entah apa yang ada di pikiran Gubernur Riau, Atuk Anas begitu beliau akrab disapa rakyat riau, saat itu ketika melakukan hal tak senonoh pada perempuan yang tak lain merupakan putri Tokoh Pendidikan Riau Soemardi Taher.

Pemimpin yang harapannya memberikan keteladanan pada masyarakat riau, pemimpin yang yang sekiranya kami anggap sebagai orang tua terlebih atuk anas dari segi umur sudah terbilang sepuh semestinya memberikan keteladan moral pada kami generasi muda yang nantinya akan meneruskan masa depan riau.

Namun apa yang dilakukan Atuk Anas, saya kira selaku Generasi Muda tentu keterlaluan. Terus Terang Saya tak habis pikir apa yang ada dalam pikiran atuk saat itu yang dalam usia seharusnya memperbanyak amal.

Terus terang hingga saat menulis tulisan ini Saya masih meragukan kebenaran apakah Benar Atuk Anas Melakukan Perbuatan yang tak senonoh seperti itu. Walau perbincangan dipublik riau telah sangat meluas. Saya Pikir Rasanya tidak mungkin, terlebih lagi saya mencoba kembali mencari kebenarannya, dengan mencari pemberitaan klarifikasi oleh Atuk Anas sendiri. Saya temukan pemberitaan klarifikasi tersebut di riauterkini.com tertanggal 10/08/2014 berjudul “Gubri Annas Bantah Tudingan Cabuli Sejumlah Wanita”

Jika memang apa yang diklarifikasikan oleh atuk anas bahwa tuduhan asusila tersebut tidak benar dikarenakan ada modus pemerasan kepadanya atau fitnah sebagai Generasi muda “Saya Akan Bela anda” 

Tetapi Jika informasi itu benar “Sebagai Generasi Muda” Saya tentu kecewa dan marah dan Siap membela para perempuan yang telah anda rendahkan harga dirinya itu

Dalam politik, memang ada adagium populer yang kebenarannya bisa mendekati sahih. Power tend to corrupt, and absolute power corrupt absolutely atau seseorang yang memegang kekuasaan, ia memiliki kecenderungan untuk melakukan penyelwengan. Dan barang siapa yang memiliki kekuasaan mutlak, maka pasti ia akan menyalahgunakan kekuasaannya.

Sepertinya, Atuk anas termasuk didalamnya. Dengan kekuasaan besar yang dimiliki, sehingga Nekat melakukan apa saja, Seperti berkata Kotor terhadap teman-teman wartawan beberapa waktu lalu, termasuk melakukan aksi pelecehan seksual terhadap perempuan terhormat !

Belum lagi reaksi atuk di saat Ulang Tahun Provinsi Riau dimana mahasiswa memberikan Al –Quran yang atuk tanggapi dengan mengatakan “Jangankan Presiden BEM, Presiden RI Saja Tak saya pedulikan”

Sadarkan Atuk anas bahwa kami Mahasiswa sebagai Generasi Muda Penerus Riau Kedepan semestinya anda pedulikan, dan anda perhatikan bahkan diberikan keteladanan yang baik.

Atau haruskah kami sebagai mahasiswa akan menjadi ancaman bagi Kelupaan Atuk sebagai mandataris Rakyat Riau !! bukankah Kedaulatan itu ada ditangan Rakyat ?

Apakah atuk tak menyadari bahwa kini zaman sudah berubah. Ini Bukan eranya lagi masyarakat Takut mengkritik bahkan tak kan segan-segan menghujat Penguasa yang bertindak menyimpang, termasuk melakukan tindakan-tindakan yang jauh dari cerminanan moralitas.

Yang perlu disadari oleh pejabat politik saat ini, zaman sudah terbuka. Dengan periode kebebasan pers saat ini, tak akan ada satupun pejabat politik yang lepas dari pengawasan. Tak ada lagi kepala daerah yang bisa mengeluarkan kebijakan maupun bertindak semuanya tanpa ada pengecekan dari publik.

Atuk anas hendaknya belajar. Pun demikian halnya dengan kepala daerah yang lain. Era kebebasan pers, semestinya dijadikan bahan evaluasi untuk memperbaiki kinerja dengan jiwa kenegarawanan, memperbaiki moral agar menjadi teladan bukan dengan menyikapi dengan arogansi kekuasaan bak preman pasar yang menyebabkan hancurnya dirinya sendiri.

Saatnya kita semua berkaca dan merenung, Semoga Apabila Atuk Anas Maamun yang kami muliakan juga  membaca tulisan saya ini dapat merenungkannya secara mendalam

Tertanda : Ary Nugraha, S.IP
 Ketua Umum HMI Cabang Pekanbaru